viralnasional.com -JAKARTA - Foto beras Bulog yang goninya pakai stiker Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka beredar di media sosial X. Beras 10 kilogram itu berasal dari cadangan beras pemerintah (CBP) untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Pangan (SPHP).
Baca Juga:
Dikutip dari Tempo.co, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi memastikan stiker tersebut bukan ditempel oleh pihak Bulog."Dari Bulog tidak ada atribut politik apa pun," ujarnya kepada Tempo, Rabu (24/1/2024).
Bayu mengatakan, beras SPHP memang mudah didapatkan karena Bulog bekerja sama dengan berbagai jaringan distributor. Bulog juga bekerja sama dengan retail modern agar masyarakat gampang untuk mengakses beras tersebut. Dengan begitu, program stabilisasi harga beras dapat terlaksana secara masif dalam rangka menjaga stabilitas harga beras.Namun dengan demikian, menurut Bayu, Bulog tidak dapat mengatur apa yang dilakukan pembeli beras milik negara ini. Termasuk menempelkan stiker calon presiden dan calon wakil presiden untuk kampanye.
Ia pun enggan menanggapi soal siapa yang membeli beras SPHP untuk kampanye Prabowo-Gibran tersebut."Beras SPHP tersedia di mana-mana, di pasar-pasar, di minimarket. Siapa saja sangat mudah mendapatkan beras SPHP," kata bos Bulog tersebut.
Adapun kritik soal dugaan politisasi bansos semakin mencuat ketika Presiden Joko Widodo alias Jokowi semakin aktif ikut membagikan bantuan pangan beras ke sejumlah wilayah.Baru-baru ini, Jokowi memberikan bantuan pangan cadangan beras pemerintah (CBP) kepada 1.000 warga di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Jokowi pun terlihat berpose salam dua jari saat iring-iringan di Jawa Tengah.
Jokowi juga telah terang-terangan mengklaim bahwa presiden boleh memihak kepada salah satu paslon dan berkampanye. Dia berdalih, yang paling penting tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara.Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai kejadian tersebut menunjukkan bahwa politisasi bansos telah dipertontonkan dengan sangat vulgar oleh penguasa.
"Bahkan Pak Presiden secara berlebihan terlibat dalam teknis seremonial pendistribusian bansos," ucapnya saat dihubungi Tempo, Rabu (24/1/ 2024). Menurut Yusuf, pemerintah semestinya berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat seperti UMKM dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, bukan terus memperbesar dan memperluas bansos. Sehingga, pembagian bansos dapat semakin kecil cakupannya seiring perbaikan kesejahteraan masyarakat.
"Kondisi ini justru lebih menandakan besarnya motif politisasi bansos untuk mendapatkan keuntungan elektoral sekaligus menandakan lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja," tutur Yusuf. Politisisasi Bansos
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah juga mengkritik dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) pemerintah. Menurutnya indikasi politisasi bansos semakin kentara setelah tersebar foto-foto bansos beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ditempeli stiker calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di platform media sosial X. Said Abdullah menegaskan, bantuan sosial, terutama dalam konteks pangan, seharusnya tidak terkait dengan kontestasi politik.
"Ketika negara mempunyai kewajibannya, maka harusnya itu tidak ada sangkut pautnya dengan kontestasi politik, apalagi dalam konteks pemenangan salah satu pasangan calon," ujar Said, ketika dihubungi Tempo, Rabu (24/1/2024).Said menegaskan, politisasi bansos itu merupakan pelanggaran nyata terkait dengan hak pangan yang seharusnya dimiliki masyarakat tanpa embel-embel apapun.
"Akhirnya kita melihat bahwa isu pangan dan hak atas pangan bahkan dijadikan alat politik," sambung Said. Said mengatakan, dana bansos berasal dari negara dan sebagian dari pajak rakyat. Menurutnya bansos tidak bisa diakui milik salah satu partai karena merupakan kontribusi dari semua masyarakat. Lebih lanjut, Said juga mencurigai adanya politisasi bansos yang sistematis.
Dia merinci bahwa keputusan penambahan impor beras 3 juta ton tahun ini dan pernyataan terkait bansos dengan alasan el nino yang memengaruhi produksi pangan, menguatkan indikasi bahwa hak atas pangan dijadikan alat politik."Bisa jadi ya, obligasi negara memberikan jaminan hak atas pangan ke masyarakat kemudian digunakan sebagai alat politiknya salah satu paslon lewat kuasa pemerintah, dan ini tentu saja tidak benar," tuturnya.
Said juga mengingatkan Bulog membuktikan komitmennya terhadap netralitas distribusi bansos."Kalau Pak Bayu mengatakan Bulog berkomitmen, itu kita pegang, dan juga harus bisa membuktikan ini, karena Bulog-nya sendiri (yang tidak netral) atau ada yang memanfaatkan situasi itu," kata Said.
Said mengajak seluruh komponen publik untuk terus mengawasi kasus ini. Ia menekankan pentingnya pemantauan publik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan bantuan sosial demi kepentingan politik.Jika tidak ada tindakan yang diambil, politisasi bansos dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar, merugikan masyarakat, dan melanggar prinsip demokrasi.
"Kita juga harus melihat komitmen pemerintah, beneran nggak (tidak ikut campur dalam kepentingan politik)," lanjut Said.Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan pemerintah akan terus mendistribusikan bansos beras hingga bulan Juni mendatang. Berdasarkan laporan dari Majalah Tempo pada awal Januari 2024, Jokowi aktif melakukan pendistribusian bantuan sosial di berbagai wilayah, seperti Kabupaten Serang, Banten, Labuan Bajo, Pekalongan, dan Banyuwangi pada bulan Desember 2023.*** Sumber: Tempo.co